Nahdlatun Nisa : Strategi Gerakan Kopri Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Pengertian
Nahdlatun Nisa
Nahdlatun Nisa berasal dari kata nahdlah
yang bermakna bangkit dan nisa yang berarti perempuan. Secara
harfiah, nahdlatun nisa berarti kebangkitan perempuan. Dalam hal ini,
kebangkitan perempuan yang dimaksud ialah gerakan bangkitnya perempuan dari
masa ke masa yang menjadi pembaharu tanpa meruntuhkan tradisi. Kata kebangkitan
ini semakin santer terdengar di era kontemporer, dimana gerakan kesetaraan
gender mulai digaungkan awal mulanya pada abad 18-an. Sementara sejarah
Indonesia pada waktu itu lebih banyak memposisikan perempuan pada kelas kedua.
Posisi tersebut membuat perempuan selalu di bawah laki-laki dalam memperoleh
hak kesehatan, pendidikan, ekonomi, politik dan sosial.
Hambatan-hambatan yang dialami
membuat perempuan tergugah untuk memperjuangkan kesetaraan haknya. Pada masa
itu, perempuan tidak boleh bekerja dan hanya mengerjakan pekerjaan domestik.
Perempuan harus patuh terhadap suami, harus berbakti kepada suami, anak-anak
perempuan tidak mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki dan lain
sebagainya. Kendala-kendala tersebutlah yang membuat perempuan kemudian
berpikir bahwa meskipun tidak bekerja bukan berarti tidak bisa menyuarakan hak
dan tidak bisa memperjuangkan keadilan yang selama ini tidak didapatkannya.
Dalam menghadapi propaganda gender
yang tidak adil tersebut, perempuan memulai untuk bangkit dan melepaskan diri
dari belenggu budaya yang patriarkis. Kebangkitan perempuan di Indonesia pada
masa itu diawali dengan menyusun berbagai strategi, termasuk yang digagas oleh
R.A Kartini. Dalam strategi kebangkitan untuk memperjuangkan haknya, R.A
Kartini memilih untuk menulis surat-surat yang isinya kritik atas nilai-nilai
tradisi yang cenderung membelenggu perempuan. Kartini juga mengkritik tentang
ketidaksetaraan hak pendidikan antara laki-laki dan perempuan. Selain menulis,
Kartini juga menggunakan strategi perjuangan melalui pendekatan pendidikan
untuk perempuan. Menurutnya, perempuan juga memiliki hak yang sama untuk
mendapatkan pendidikan dan pembelajaran dengan laki-laki. Sampai akhirnya
berdiri Indischere Vereeninging yang selanjutnya bernama Perhimpunan
Indonesia, didirikannya organisasi perempuan tahun 1912 oleh Poetri Mardika
atas bantuan Budi Utomo dan kemudian memunculkan organisasi perempuan yang
memperjuangkan haknya dengan berbagai strategi yang berbeda-beda.
Gender dalam Perspektif Islam
Dalam
pandangan Islam ada salah satu tema sentral atau prinsip utama terkait dengan
pokok ajaran Islam. Prinsip yang dimaksud yakni prinsip egalitarian atau
kesetaraan antar manusia, baik itu perempuan dan laki-laki maupun antar suku,
bangsa, dan keturunan. Hal ini seperti yang telah dijelaskan dalam QS.
al-Hujurat ayat 13 yaitu:
“Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara
kamu.”
Ayat di atas menjelaskan kepada kita
mengenai gambaran persamaan antara perempuan dan laki-laki baik dalam hal
ibadah (dimensi spiritual) maupun dalam kegiatan sosial (urusan karier
profesional). Dalam ayat tersebut pun juga menampik pandangan yang menyatakan
bahwa antara keduanya terdapat perbedaan yang memarginalkan salah satu diantara
keduanya. Persamaan tersebut mencangkup berbagai hal, misalnya dalam hal
ibadah. Barang siapa diantara manusia yang rajin ibadah, maka akan mendapatkan
pahala lebih banyak tanpa melihat jenis kelaminnya. Adanya perbedaan disebabkan
oleh kualitas nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah swt. Selain itu,
ayat ini juga menegaskan bahwa misi pokok al-Qur’an diturunkan ialah untuk
membebaskan manusia dari berbagai jenis diskriminasi dan penindasan. Termasuk
dalam hal ini diskriminasi seksual, etnis, warna kulit, dan ikatan-ikatan
primordial lainnya.Namun begitu,
sekalipun secara teoritis al-Qur’an mengandung prinsip kesetaraan antara
perempuan dan laki-laki, akan tetapi dalam tatanan implementasi seringkali
prinsip-prinsip tersebut terabaikan.
Banyak faktor yang mempengaruhi
terhambatnya implementasi prinsip-prinsip egaliter al-Qur’an dalam kenyataan.
Di antaranya ialah pemahaman dan pengetahuan agama yang dangkal serta tafsir
ayat-ayat al-Quran yang masih misoginis (bernuansa memposisikan perempuan
sebagai makhluk yang dibenci dan dilecehkan). Padahal ajaran Islam, diyakini
sebagai rahmat untuk semua manusia tanpa membedakan jenis kelamin. Telah
disebutkan dengan jelas bahwa setiap manusia di mata Allah itu sama, yang
membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya saja bukan berdasarkan jenis kelamin. Berikut ini dalil-dalil dalam
al-Qur’an yang berkaitan dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender, yaitu:
a)
Laki-laki
dan Perempuan Sama-sama sebagai Hamba
Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada
Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Zariyat: 56 artinya sebagai berikut:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.”
Ayat di atas menjelaskan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan, barang siapa yang banyak amal ibadahnya, maka itulah yang mendapatkan
pahala besar tanpa harus melihat dan mempertimbangkan jenis kelaminnya terlebih
dahulu. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba
ideal. Hamba ideal di Al-Qur’an biasa diistilahkan dengan orang-orang bertaqwa
(muttaqin). Dalam meraih derajat muttaqin ini, tidak dikenal
adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu.
Semuanya sama, tidak ada yang lebih tinggi dan yang lebih rendah.
Laki-laki dan perempuan
sebagai Khalifah di Bumi
Penciptaan manusia di muka bumi disamping untuk menjadi hamba yang
tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah Swt., juga untuk menjadi khalifah
di bumi (khalifah fî al-ard). Kapasitas manusia sebagai khalifah di bumi
ditegaskan di dalam QS. al-An’am: 165 artinya sebagai berikut:
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk
mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat
cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Kata khalifah dalam ayat tersebut tidak merujuk kepada salah satu
jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. Perempuan dan laki-laki memiliki
tugas yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas
kekhalifahannya di bumi, sebagaimana halnya mereka harus bertanggung jawab
sebagai hamba Tuhan.
Allah telah memberikan peran dan tanggung jawab yang sama anatara
perempuan dan laki-laki dalam menjalankan kehidupan spiritual dan sosialnya.
Tujuan al-Qur’an diturunkan ialah memberikan petunjuk untuk mewujudkan keadilan
dan kesejahteraan dalam masyarakat. Agama seharusnya dipandang sebagai realitas
sosial dan kultural yang bersifat kontekstual. Yang mana dalam hal ini,
pemahaman dan penafsiran terkait agama harus diiringi dengan prinsip-prinsip
keadilan dan kesetaraan. Sehingga tidak ada lagi tafsir misoginis dan keadilan
bagi seluruh manusia dapat diwujudkan.
Sejarah
Gerakan Perempuan di Indonesia
Gerakan
perempuan Indonesia lahir dipengaruhi oleh berbagai kondisi sejarah perjuangan
bangsa, program pembangunan nasional, reformasi, globalisasi dan kondisi
religiusitas masyarakat. Gerakan perempuan di setiap masa akan sangat
tergantung pada situasi dan kondisi zamannya. Pada masa kolonial akhir abad 19
dan awal abad 20 telah muncul gerakan perempuan yang dipelopori oleh R.A
Kartini yang menginisiasi dibukanya sekolah untuk mendidik perempuan. Kemudian
setelah itu lahirlah tokoh perempuan di Jawa Barat yakni Dewi Sartika.
Tahun 1912, Poetri Mardika,
organisasi perempuan pertama didirikan di Indonesia. Setelah Poetri Mardika
berdiri, lahirlah pergerakan perempuan lainnya seperti Putri Sejati dan Wanita
Utama. Disusul tahun 1920 berdirinya organisasi wanita Aisyiah yang kemudian
diikuti oleh organisasi perempuan kaum Katolik dan Protestan. Masih di tahun
yang sama, Sarekat Rakyat lahir dengan menyuarakan peningkatan upah dan
perbaikan kondisi kerja yang baik bagi perempuan.
Di tahun 1928-1930 semakin marak
tumbuh berbagai organisasi perempuan. Pada tahun 1928 muncullah 30 organisasi,
diantaranya ialah Persatoean Perempuan Indonesia (PPI) yang menyuarakan
reformasi pendidikan dan reformasi perkawinan. PPI kemudin berubah nama menjadi
Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII) yang menyuarakan penghapusan
perdagangan perempuan dan anak. Organisasi Istri Sedar (1930) di masa ini masih
tetap menyuarakan anti poligami dan perceraian.
Pasca kemerdekaan sampai Orde Lama (1950) organisasi peremuan
berangsur-angsur hancur, disamping itu muncullah GERWANI (Gerakan Wanita
Indonesia) sebagai kelanjutan dari Istri Sedar. Organisasi ini menyuarakan
untuk mensukseskan pemilu, anti perkosaan, peningkatan kesadaran perempuan
tani, berantas buta huruf, hukuman berat bagi pemerkosa dan penculikan,
kegiatan sosial ekonomi bagi kaum perempuan, pendidikan masalah politik,
kesehatan, dan monogami. GERWANI ini pada dasarnya menyokong kampanye politik
terpenting yang dilakukan oleh PKI.
Tahun 1955 muncul Organisasi Perempuan Islam dan Nasionalis, serta
berbagai kegiatan yang terikat pada partai politik dan gerakan keagamaan dalam
bentuk Balai-balai Perempuan, Bank-bank Perempuan, Surau Perempuan, Organisasi
Perempuan serta Majalah Perempuan. Selain itu, tahun 1954 lahirlah organisasi
PERWARI (Persatuan Wanita Republik Indonesia). Sedangkan pada era Orde Baru organisasi
masa mengalami pengekangan hingga tahun 1968. Tahun 1966 hingga 1970 terjadi
pembersihan PKI. Satu-satunya organisasi yang hidup adalah Perwari. Kemudian
1978 Perwari dilebur kedalam Golkar. Pada tahun inilah hilang organisasi wanita
yang bersifat independen, akan tetapi lahir beberapa organisasi besar seperti :
Golkar, Dharma Wanita ( istri PNS), Dharma Pertiwi (Istri yang suaminya bekerja
di Angkatan Bersenjata) serta organisasi PKK. Kegiatan organisasi perempuan ini
lebih banyak berhubungan dengan kepentingan suami. Sehingga perempuan kurang
berkiprah di dalam birokrasi dan pembangunan, selain itu hanya ada dua
organisasi wanita yang boleh bergerak di perdesaan yaitu Aisyiah dan PKK.
Orde Baru telah menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme yang
bertahan selama 32 tahun dan membawa implikasi serta krisis yang bersifat
multidimensi. Sedangkan dalam era reformasi, muncul berbagai organisasi
perempuan yang membangkitkan kembali para reformis perempuan seperti tahun
1930-an yang tidak saja membela kaumnya sendiri, melainkan juga memperjuangkan
dan memikirkan nasib masyarakat marjinal. Bangkitnya gerakan perempuan di era
reformasi terus berkembang sampai sekarang dengan ditandai dibentuknya berbagai
organisasi yang bergerak untuk melawan penindasan, diskriminasi dan
ketidakadilan pada anak dan perempuan.
Problematika
Perempuan Indonesia di Era Kontemporer
Problematika
perempuan Indonesia era kini masih menunjukkan separuh wajah permasalahan di
masa lalu yang belum selesai. Dari masa ke masa, permasalahan justru semakin
kompleks. Munculnya berbagai masalah perempuan tersebut diakibatkan oleh
dinamika kondisi sosial, ekonomi, politik, ideologis, psikologis dan lain
sebagainya. Era reformasi yang datang dengan meruntuhkan Orde Baru tak lantas
mengikis semua permasalahan yang ada. Tumbuhnya kebebasan pers dan kebebasan
berpendapat juga dibarengi dengan masuknya globalisasi, modernisasi dan
kecanggihan teknologi yang menimbulkan masalah baru. Di antara masalah baru
tersebut ialah meningkatnya kapitalisasi di berbagai sektor, termasuk
menggunakan perempuan sebagai objek dan
membangun konstruksi cantik yang sesuai dengan standar industri.
Sementara itu, Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam siaran pers yang digelar
di Jakarta pada tanggal 31 Januari 2019 melaporkan potret perlindungan dan
pemenuhan HAM Perempuan di Indonesia pasca 20 tahun reformasi. Dalam
laporannya, Komnas Perempuan menjelaskan bahwa seiring dengan polarisasi
politik, politisasi identitas, pesatnya fundamentalisme dan radikalisme telah
merapuhkan hak asasi manusia. Hal tersebut
diekspresikan dengan terbuka dalam wujud intoleransi, persekusi, penyesatan dan
penodaan agama yang semuanya berpengaruh pada kekerasan terhadap perempuan.
Selain hal di atas,
Komnas Perempuan memandang bahwa kondisi saat ini merupakan akumulasi
dari pembiaran negara, yang direkam oleh Komnas Perempuan sejak 20 tahun lalu. Dampak
tersebut terlihat diantaranya dengan meningkatnya kebijakan diskriminatif. Tahun
2010 Komnas Perempuan mendokumentasikan ada 159 kebijakan diskriminatif,
sedangkan di tahun 2018 meningkat menjadi 421 yang tersebar di 34
Provinsi dan menyasar langsung maupun tidak langsung kepada perempuan.
Komnas Perempuan maupun lembaga pendamping korban
mencatat kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan sejumlah 348.446
kasus, dari 259.150 pada tahun sebelumnya. Diantara bentuk kekerasan tersebut
ada beberapa jenis kekerasan yang belum dilindungi oleh negara dan sulit bagi
korban untuk mengakses keadilan, antara lain: kekerasan di dunia maya, berbagai
jenis kekerasan seksual, termasuk kompleksitas isu KDRT dan kriminalisasi
korban, bahkan isu femisida yang belum dikenali.
Dari berbagai permasalahan perempuan yang terjadi
perlu adanya gerakan perempuan untuk mengadvokasi, sosialisasi dan
mengkampanyekan pemenuhan HAM perempuan. Salah satu hal yang bisa didorong oleh
publik untuk berpartisipasi aktif ialah dengan advokasi RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual (PKS). Di samping itu juga menuntut pemerintah untuk
menyediakan regulasi yang melindungi korban kekerasan, mengintegrasikan prinsip
hak korban dalam pembahasan RUU Hukum Pidana, menerbitkan aturan pelaksana yang
mengedepankan prinsip hak korban untuk optimalisasi pelaksanaan UU PKDRT dan UU
PPMI, mendorong kesadaran dan komitmen aparatus negara serta aparat penegak
hukum melalui reformasi sistem pendidikan dan pelatihan yang mengintegrasikan
HAM berbasis gender
Strategi
Gerakan KOPRI di Era Industri 4.0
Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
Putri (KOPRI) dalam menghadapi
tantangan zaman dan problematika bangsa perlu ikut andil dalam gerakan
pemenuhan HAM perempuan. Strategi KOPRI setiap masa selalu berbeda, hal itu
dipengaruhi oleh berbagai dinamika sosial, politik, ekonomi dan organisasi.
Namun, sepatutnya strategi yang dibangun KOPRI tiap tahunnya harus mengalami
perkembangan. Beberapa strategi internal dan eksternal yang perlu dibangun oleh
KOPRI ialah:
a) Peningkatan
Kualitas Kader
Dalam mengembangkan strategi gerakan, tentu harus diawali dengan
peningkatan kualitas sumber daya yang ada. Penting bagi KOPRI membuka
seluas-luasnya ruang-ruang belajar untuk memperdalam kualitas spiritual,
intelektual, emosional, sosial dan komitmen organisasional. Hal tersebut bisa
diwujudkan dengan mengadakan sekolah-sekolah dan forum-forum kajian.
b)
Pengembangan
Diri Kader KOPRI
Menyadari bahwa manusia yang hidup tanpa tumbuh secara
sosial-psikologis akan ditelan sejarah, pengetahuan, teknologi dan peradaban.
Kader PMII, layaknya manusia kebanyakan yang memiliki kemampuan dasar untuk
dikembangkan. Di samping itu, hal utama
lainnya ialah mengembangkan diri, seperti mengembangkan kemampuan intelektual,
emosional, spiritual, moral, dan empati. Suatu proses meningkatkan kepribadian,
potensi dan sosial-emosional individu agar terus tumbuh dan berkembang dapat
disebut sebagai pengembangan diri. Proses ini dapat berarti mengembangkan bakat
yang telah dimiliki, meraih tujuan, meningkatkan rasa percaya diri dan menjalin
hubungan yang baik dengan sesama. Pengembangan diri yang dimaksud di sini ialah
pengembangan segala kemampuan yang ada dalam diri sendiri, termasuk
pengembangan dalam upaya meningkatkan potensi berpikir dan berprakarsa serta
meningkatkan kapasitas intelektual yang diperoleh melalui aktivitas yang
dijalankan.
c)
Penguatan
Jaringan dan Alumni
Penguatan jaringan dan alumni dapat menjadi sebuah jalan untuk
mensinergikan gerakan. Selain itu, gerakan KOPRI dari masa ke masa dapat dirangkai
dengan utuh tanpa memutus salah satunya. Hal ini supaya gerakan KOPRI di masa
lampau dapat diperbaiki dan ditingkatkan sehingga gerakan yang digagas KOPRI
kedepan dapat dikembangkan di berbagai sayap sosial dan kampus-kampus lain.
d)
KOPRI
dan Masyarakat
Sebagai organisasi yang berkarakter khidmat kepada umat, khidmat
kepada masyarakat dan khidmat kepada bangsa, maka sudah seharusnya KOPRI
mengabdi pada masyarakat untuk membantu memperjuangkan HAM perempuan. Selain
berpartisipasi aktif mengadvokasi lingkungan kampus, KOPRI juga perlu terjun ke
masyarakat untuk bergerak lebih luas menjawab persoalan sosial yang ada.
e)
Responsif
Terhadap Isu Nasional
KOPRI yang memiliki tugas dan fungsi mengkawal hak-hak perempuan
dan anak diharapkan mempunyai lembaga kajian sebagai sarana untuk mengkaji
permasalahan, baik problematika lokal, regional maupun nasional. Kajian ini
dapat mempertajam pemahaman kader KOPRI terkait permasalahan yang ada dan
membangun strategi untuk memberikan solusi atas problem yang ditemukan.
f)
Memanfaatkan
Kecanggihan Teknologi Sebagai Sarana Gerakan
Era industri 4.0 memiliki dampak besar terhadap kehidupan sosial
masyarakat. Dimana salah satunya ialah pesatnya penggunaan internet sebagai
gaya hidup baru bahkan menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat sekarang.
Digitalisasi di berbagai sektor membuat pergeseran dan perubahan sosial semakin
cepat. Kader PMII tentu perlu membangun strategi gerakan virtual agar gerakan
yang dibangun dapat menjangkau secara luas dan lebih cepat. Virtualisasi gerakan
juga dapat meningkatkan eksistensi dan memperlebar ruang belajar serta ruang
gerak kader-kader PMII.
Sumber
Referensi:
Suhra, S. (2013). Kesetaraan Gender dalam
Perspektif Al-Qur’an dan Implikasinya terhadap Hukum Islam. Al-Ulum, 13(2),
373-394.
Djoeffan, S. H. (2001). Gerakan Feminisme di
Indonesia: Tantangan dan Strategi Mendatang. Mimbar: Jurnal Sosial dan
Pembangunan, 17(3), 284-300.
Comments
Post a Comment