Akal Manusia Itu Totalitas atau Terbatas?

Filsuf Boethius, mempunyai ungkapan yang menarik tentang manusia, persona est naturae rationalis individual subtantia (persona adalah substansi individual yang berkodrat rasionalis). Manusia sebagai persona, dalam setiap upaya perwujudan diri, umumnya mengacu pada tiga hal yaitu: distingsi, limitasi dan mutasi. Ketiga hal ini melekat bukan hanya dalam diri manusia tetapi juga pada setiap makhluk ciptaan yang lain.

Setiap ciptaan berbeda antara satu dengan yang lainnya.Hal ini ada karena adanya keterbatasan potensi yang dimiliki oleh setiap ciptaan yang bermuara pada aktus yang dibuat demi perwujudan diri. Setiap ciptaan juga terlimitasi, terbatas. Dalam hubungan dengan ini, ada istilah esse (keberadaan) dan esensi (hakikat). Esse dari setiap kita dibatasi oleh esensi kita. Esensi manusia adalah animal rationale. Karena itu, esensi kita sebagai makhluk yang berpikir itu menjadi berarti hanya sejauh kita berada. Kedua hal ini (esse dan esensi), sangatlah penting dan melekat erat dalam diri manusia. Keberadaan kita selalu diikuti dengan aktus berpikir.

Setiap ciptaan juga termutasi. Setiap ciptaan dalam keberadaannya selalu menampilkan keberadaan yang statis. Ada unsur dinamis yang ada dalam setiap ciptaan, karena itu kita sering mendengar ungkapan bahwa manusia adalah makhluk dinamis. Hal ini ada karena adanya gerakan potensi menuju  kesempurnaannya.

Manusia itu bukan serigala, melainkan ia adalah makluk yang berpikir (animal rationale). Artinya, dengan pikirannya ia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dalam tindakannya. Manusia dengan pikirannya pula, ia bisa mengatasi naluri kebinatangannya dan bertindak lebih menusiawi. Berbekalkan akal budinya aksinya bukan hanya merupakan actus hominis dalam arti gerakan-gerakan yang hanya dikuasai oleh hukum-hukum biologis, melainkan merupakan actus humanus dalam arti tindakannya sarat dengan pertimbangan-pertimbangan nilai.

Rene Descartes, filsuf terkenal dari Perancis, mendefinisikan manusia sebagai animal rationale, binatang yang dapat berpikir atau a thinking being, makhluk yang berpikir. Sementara itu, berpikir diartikan sebagai kegiatan refleksif yang melibatkan otak sebagai organ pengendali semua panca indra, organ yang secara auto-refleksif melakukan fungsi perencanaan, penelaahan, pengambilan keputusan, dan pengkoordinasian terhadap program-program kerja jasmani-rohani tubuh manusia. Salah satu program kerja yang paling penting adalah berpikir, melakukan penelaahan atas sesuatu topik yang biasanya muncul dari adanya rangsangan atau impulsi dari luar. Topik yang muncul tersebut bisa jadi memerlukan penelahaan  terkait dengan sebab-akibat, dengan kemungkinan pelaksanaannya atau terjadinya, dengan segi baik-buruknya atau untung-ruginya, dan atau berbagai segi lain.

Manusia sebagai animal rationale, hal inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Manusia dan binatang punya tiga kesamaan, yakni memiliki jasad, ruh dan hawa nafsu dan hanya satu perbedaan yakni akal. Begitu banyak ayat di dalam Al Qur’an yang selalu menyebutkan“Bagi kaum yang berakal” (Adz Dzumar : 009), “Tidak kah kamu melihat dan memikirkan”(Yassin : 71) dan lain sebagainya. Sementara binatang, Allah takdirkan hanya mempunyai insting bukan akal. Akan tetapi, adakalanya manusia yang telah diciptakan Allah dengan sebaik-baik bentuk ini justru lebih rendah derajatnya dari binatang yaitu saat ,”Mereka mempunyai mata, tapi mereka tidak melihat dan mereka mempunyai telinga, tetapi mereka tidak mendengar. Mereka bagaikan binatang, bahkan lebih rendah dari binatang. Mereka adalah orang-orang yang lengah.” (QS. Al-Araf : 179). Untuk itulah kita perlu menundukkan hawa nafsu kita, pada apa yang telah ditetapkan agama, agar tidak menjadi manusia yang dipandang rendah oleh-Nya.

Akal manusia itu totalitas atau terbatas? Hal tersebut dikarenakan akal manusia berada pada otak yang notabene adalah kesadaran fisik. Orang-orang jenius pun hanya mempergunakan sekitar 15% dari kemampuan maksimalnya. Sedangkan satu-satunya manusia, menurut al-Farabi, yang mampu memaksimalkan kemampuan otaknya hingga 100% ialah Nabi Muhammad SAW. Kendati demikian, manusia harusnya bisa menggunakan akalnya dengan sebaik-baiknya.

Filsuf Nietszche dan M. Heidegger pun berkata bahwa manusia harus memanusiakan dirinya, manusia harus memperjuangkan eksistensinya, manusia masih harus menyesuaikan diri. Di dalam diri manusia di samping terdapat bakat-bakat, potensi-potensi bagi survivalnya dan keagungan eksistensinya, juga terdapat benih-benih kehancurannya. Berlainan dengan binatang yang unweltgebunden, terikat pada unwelt-nya, lingkungannya, dan tidak mampu mengambil distansi atau membuat transendensi.

Hal yang sesungguhnya membuat manusia berbeda dari semua makhluk di dunia ini adalah inteleknya atau akal budinya. Realitas intelek merupakan hal yang sangat penting dan menentukan. Memang, pada momen-momen tertentu, manusia menunjukan kemiripan dengan binatang, tetapi hal itu tidaklah sama. Manusia memang mempunyai aspek hewani, tetapi manusia adalah insan paling utama berkat inteleknya, rohaninya. Jadi, perbedaan tersebut terletak pada kenyataan bahwa manusia sadar, mampu mengerti, sehingga dapat memegang dirinya sendiri serta menentukan diri sendiri dengan otonomi.

Manusia sebagai makhluk yang berpikir hendaknya bisa memahami apa-apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT, menaati aturan-Nya, dan menjauhi larangan-Nya. Manusia sebagai makhluk yang berpikir berarti makhluk yang bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Bukankah Allah pun sudah menjelaskan  tentang keberadaan manusia yang menjadikan hawa nafsu mereka sebagai Tuhan, sebagaimana dalam QS Al Furqon 25 : 43-44 yang artinya : “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?, atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).”

Comments

Populer

Menulis Sebagai Jalan Menenangkan Diri

Teori Harapan

Psikologi pada Masa Yunani Kuno

Apakah Rasa Sepi Bisa Dilenyapkan?

Nalar Kritis dan Gerakan Mahasiswa Era Sekarang

Gejala-gejala Avoidant Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Menghindar)

Bagaimana Kepribadian yang Sehat Itu?

Budaya Organisasi dan Bagaimana Mempertahankannya