Bucin, Budaya Kontemporer dan Ego Kapitalis
Sumber: www.forum.teropong.id |
Dewasa
ini, kata bucin makin marak digunakan oleh kaum milenial dalam obrolan
sehari-hari. Kata tersebut belum
ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) karena masih menjadi bahasa prokem
saja. Budak Cinta merupakan kepanjangan dari bucin yang seringkali
digunakan untuk menyebut orang yang tengah dimabuk cinta.
Secara
terminologi, budak ialah seseorang yang berada pada kondisi dikontrol oleh
orang lain. Individu yang diperbudak akan bersedia melakukan apa saja meskipun
itu tidak sesuai dengan logika dan norma-norma. Pada konteks ini, seseorang
yang diperbudak oleh cinta akan melakukan apa saja demi orang yang dicintainya.
Meskipun apa yang dilakukan tidak logis dan menyakitkan. Sedangkan, cinta secara
bahasa adalah ketertarikan atau keterpikatan. Dalam hal ini, cinta yang
dimaksud ialah keterpikatan seseorang terhadap orang lain.
Sappho,
filsuf perempuan yang hidup pada abad ke-6 SM membicarakan soal cinta dan
menuangkannya dalam bentuk puisi. Menurutnya, apapun bentuk cinta, erotis atau
kasih sayang orang tua, merupakan jalan menuju kebenaran. Kebenaran tentang
manusia maupun kebenaran tentang dunia (Keder, MacKendrick, & Cook, 2004
dikutip dari Handayani, 2013: 31). Sedangkan pada zaman Victoria, cinta
bukanlah serta merta pengalaman pribadi yang membawa pada pernikahan.
Sebaliknya, pernikahan diikat oleh kesepakatan keluarga masing-masing dan
diputuskan berdasarkan pertimbangan sosial serta berharap cinta akan tumbuh
setelah menikah. Namun, pada generasi berikutnya, cinta romantis banyak
diterima sebagai upaya mencari pengalaman cinta personal yang akan membawa pada
pernikahan.
Erich
Fromm, seorang psikoanalisis dan filsuf, mengungkapkan bahwa cinta itu perlu
dipelajari. Hal tersebut menurut Erich karena cinta adalah seni, seperti halnya
kehidupan. Apabila kita ingin belajar mencintai kita harus melakukan hal yang
sama seperti kita ingin mempelajari seni yang lain, misalnya seni tari, seni
musik, melukis dan lain sebagainya. Proses belajar seni menurut Erich ada dua
yaitu menguasai teori dan menguasai penerapan.
Pengaruh
Budaya Kontemporer Terhadap Cinta
Budaya
kontemporer telah memberikan konsep baru tentang kebebasan dalam cinta dan
memperjelas betapa penting objek cinta, yang bertentangan dengan fungsi cinta. Seperti
yang dikatakan Erich Fromm bahwa cinta merupakan seni yang juga perlu untuk
dipelajari seperti seni lainnya. Namun, kenyataannya adalah orang-orang lebih
banyak menghabiskan energinya untuk mempelajari bagaimana meraih kesuksesan,
kehormatan, uang, dan kekuasaaan. Cinta yang hanya menguntungkan jiwa tapi
tidak memberikan keuntungan dalam arti modern merupakan kemewahan yang untuknya
kita tak perlu menghabiskan banyak tenaga. Benarkah demikian? Kita ingin
mendapatkan kemewahan cinta yang sangat menguntungkan jiwa namun kita tidak ingin menghabiskan energi yang banyak untuk cinta?
Kebudayaan
kita hari ini hampir seluruhnya berlandaskan pada hasrat membeli dan pada ide
tentang pertukaran saling menguntungkan. Sebagai manusia kita tidak memiliki tujuan
kecuali terus menerus memproduksi dan mengkonsumsi. Secara tidak sadar budaya
yang berlandaskan pada untung-rugi itu juga masuk ke dalam setiap komunikasi
sosial manusia, termasuk di dalamnya komunikasi cinta dan pondasi hubungannya. Apakah
kemudian tumbuhnya cinta dipengaruhi oleh komoditas-komoditas manusia yang
berada dalam jangkauan kemampuan tukarnya? Individu menjadi punya penawaran
atas objek cintanya bahwa selain harus sesuai dengan nilai masyarakat, objek
cintanya harus menginginkan individu tersebut berdasarkan kualitas dan
kemampuannya yang tampak maupun tak tampak?
Benarkah kita sungguh-sungguh mencintai orang
lain? Ataukah sebenarnya kita tertarik dengan orang lain bukan karena cinta,
tetapi karena seseorang itu dapat menguntungkan secara jiwa? Dengan kata lain,
kita sedang tidak jatuh cinta melainkan menggali sebanyak-banyaknya keuntungan
dari orang lain atas nama cinta? Jika orang itu tidak sesuai dengan harapan dan
tidak menguntungkan lalu kita meninggalkannya? Benarkah hubungan percintaan
hari ini lebih banyak didominasi oleh landasan untung-rugi?
Ego Kapitalis dan Ketidakberdayaan Seorang Bucin
Cinta yang
dewasa akan membuat seseorang menjadi manusia yang utuh, mandiri dan
bebas. Manusia yang memiliki kebebasan dan kemandirian ialah mereka yang tidak
menguasai dan dikuasai, tidak dikontrol dan mengontrol, tidak menjadi budak dan
diperbudak. Agar menuju pada cinta yang dewasa, seseorang perlu membangun kesadaran
diawali dari egonya. Kita harus menyadari bahwa manusia memiliki hak
masing-masing untuk merawat kebebasan dan kemandiriannya. Mencintai berarti
membiarkan seseorang yang kita cintai tidak dikontrol dan tidak kita kuasai. Kita
memberikan ruang yang sama dan setara, tidak ada yang mendominasi dan tidak ada
yang mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan, termasuk keuntungan jiwa.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa bucin
merupakan simbol ketidakberdayaan seseorang yang secara sadar atau tidak sadar
berada dalam relasi yang tidak setara. Hubungan semacam itu sangat dipengaruhi
relasi kuasa yang menjadikan salah satunya dikuasai, dikontrol dan diperbudak. Cinta
merupakan penyatuan dalam kondisi menjaga keutuhan diri sebagai kekuatan aktif
dalam diri yang meruntuhkan dinding pemisah antar manusia dengan sesamanya. Kekuatan
yang menyatukan manusia dengan manusia lain ini mampu mengatasi rasa terasing
dan terpisah, namun tetap membiarkannya menjadi diri sendiri. Dalam cinta
mengandung paradoks bahwa dua manusia yang menjadi satu tetapi tetap dua.
Karakter cinta menurut Eric Fromm adalah
aktif yang digambarkan dalam pernyataan bahwa cinta itu memberi bukan menerima.
Memberi berbeda dengan menyerahkan sesuatu, merampas dan berkorban. Seseorang dengan
ego kapitalis hanya akan bersedia memberi dengan ganti dia menerima. Beberapa orang
lainnya memberi dengan perasaan berkorban karena bagi mereka memberi itu
menyakitkan. Namun, yang dimaksud Erich, memberi itu ialah ungkapan tertinggi
potensi. Di dalam memberi, seseorang merasakan kemakmurannya dan daya hidupnya
sehingga ia memberi dengan perasaan penuh kegembiraan. Memberi bukan berarti
kehilangan sesuatu, akan tetapi karena tindakan memberi ada ungkapan
kehidupannya.
Belajar seni mencintai sama artinya dengan
mempelajari kemampuan mencintai. Mampu mencintai ialah mengatasi
ketergantungan, mengatasi keinginan untuk mengeksploitasi orang yang dicintai
dan mengatasi keinginan untuk menguasai orang yang dicintai. Individu akan
menjadi budak cinta dan akan memperbudak orang yang dicinta apabila ia tidak
sadar dan tidak memiliki pengetahuan tentang cinta. Maka langkah pertama untuk
tidak menjadi bucin adalah belajar dan sadar.
Sumber Referensi:
Siwi Handayani, et al. 2013. Subyek yang
Dikekang. Komunitas Salihara-Hivos.
Fromm, Erich. 2018. Seni Mencintai. Yogyakarta:
Basabasi.
Ngefans aku
ReplyDeleteSetiap orang punya jalan bucinnya sendiri.. wkwk
ReplyDelete