Membangun Kembali Komitmen Organisasi
Dalam sebuah organisasi manapun,
komitmen selalu menjadi bagian paling penting sebagai modal untuk mengembangkan
organisasi. Komitmen organisasi (organizational
commitment) ini merupakan
salah satu tingkah laku yang sudah banyak dibicarakan dan diteliti. Hal ini
antara lain dikarenakan organisasi membutuhkan anggota yang memiliki komitmen
tinggi supaya organisasi dapat terus bertahan dan berkembang.
Menurut Mowday, Porter, dan Steers (1982) individu yang memiliki komitmen
organisasi yang tinggi akan lebih termotivasi untuk hadir dalam organisasi dan
berusaha mencapai tujuan organisasi. Sementara menurut Randall, Fedor, dan
Longenecker (dalam Greenberg & Baron, 1993) menyatakan bahwa komitmen
organisasi berkaitan dengan keinginan yang tinggi untuk berbagi dan berkorban
bagi organisasi.
Staw & Salancik, mengemukakan
ada dua bentuk komitmen, yaitu komitmen sikap (attitudinal commitment) dan
komitmen tingkah laku (behavioral commitment). Mari kita ulas dua
tipologi komitmen di atas. Komitmen sikap, ialah keadaan dimana individu
mempertimbangkan sejauhmana nilai dan tujuan pribadinya sesuai dengan
nilai dan tujuan organisasi. Tidak
dipungkiri, setiap individu memiliki nilai dan tujuan pribadi yang berbeda-beda
di dalam sebuah organisasi. Namun, perbedaan tersebut dapat disatukan dengan menjadikan
nilai dan tujuan organisasi sebagai tujuan bersama. Nah, sekarang
pertanyaannya, apakah sudah dilakukan?
Komitmen sikap juga merupakan
keadaan dimana individu mempertimbangkan sejauhmana keinginannya untuk
mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. Pertanyaan sekarang ialah
apakah mereka yang dalam tanda kutip “mundur teratur dari barisan” diakibatkan
karena lemahnya komitmen dalam bentuk sikap? Pendekatan sikap ini memandang
komitmen organisasi sebagai komitmen afektif(berkenaan dengan perasaan)
(Allen & Meyer, 1990) serta berfokus pada proses bagaimana seseorang
berpikir tentang hubungannya dengan organisasi (Mowday dkk, 1982).
Kemudian yang kedua, komitmen
tingkah laku ini didasarkan pada sejauhmana individu menetapkan keputusan untuk
terikat pada organisasi berkaitan dengan adanya kerugian jika memutuskan
melakukan alternatif lain di luar tanggungjawab/tugasnya saat ini. Berbeda dengan pendekatan sikap, pendekatan tingkah laku ini lebih
menekankan pada proses dimana individu mengembangkan komitmen, tidak pada organisasi tetapi pada tingkah lakunya
terhadap organisasi (Miner, 1992).
Jadi, kalau komitmen sikap itu masih
bersifat afektif (perasaan/emosi), namun kalau komitmen tingkah laku itu sudah
pada tahap menetapkan keputusan (sudah berupa tindakan). Namun, pendapat lain
mengenai komitmen organisasi diungkapkan oleh Mowday, dkk yang mendefinisikan
komitmen organisasi sebagai: the relative strength of an individual's
identification with and involvement in a particular organization. Definisi menunjukkan bahwa komitmen organisasi memiiki arti lebih dari sekedar loyalitas yang pasif, tetapi
melibatkan hubungan aktif dan keinginan
individu untuk memberikan kontribusi yang berarti pada organisasinya.
Komitmen organisasi menurut Mowday
dkk ini memiliki ciri-ciri diantaranya ialah (1) belief yang kuat serta penerimaan terhadap nilai dan
tujuan organisasi (2) kesiapan untuk bekerja keras (3) keinginan yang kuat
untuk bertahan dalam organisasi. Semakin seseorang merasa sesuai dengan nilai
dan tujuan organisasi maka semakin tinggi pula komitmennya pada organisasi. Dalam
rangka membangun komitmen organisasi, maka jika ditilik dari pendapat Mowday harus
menghadirkan kepercayaan yang kuat serta penerimaan terhadap nilai dan tujuan
organisasi agar dapat kongruen dengan nilai dan tujuan pribadi. Kemudian anggota
atau individu pun memiliki kesiapan untuk bekerja keras di organisasi tersebut,
bertahan dan mengembangkan organisasi.
Sementara itu, Allen dan Meyer
(1990) mengemukakan tipologi komitmen organisasi dengan tiga komponen komitmen
organisasi yaitu: komitmen afektif berkaitan dengan ketertarikan individu
dengan organisasinya, kemudian komitmen kontinuans berkaitan dengan
pertimbangan untung rugi individu ketika bertahan dan keluar dari organisasi,
dan komitmen normatif yang berkaitan dengan perasaan wajib untuk tetap bertahan
di organisasi.
Di atas telah disebutkan berbagai macam definisi dari beberapa
tokoh sebagai landasan dan acuan untuk membangun kembali komitmen organisasi. Jadi
kesimpulannya, yang pertama untuk membangun komitmen harus menghadirkan rasa
ketertarikan dengan organisasi, kesesuaian antara nilai dan tujuan pribadi
dengan nilai dan tujuan organisasi, kemudian menghadirkan keterikatan dengan
organisasi agar dapat menghadirkan rasa ingin bertahan pada organisasi apapun
dan bagaimanapun kondisinya.
Comments
Post a Comment